Foto: Grandyos Zafna
Jakarta - Jumlah cabang olahraga dan gemuknya total kontingen penerima menjadi pro dan kontra yang mewarnai setiap pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON). Minimnya kontribusi terhadap atlet ke ajang internasional menambah kadar permasalahan prestasi olahraga nasional.PON XIX/2016 dibuka dengan pesta wah. Berpentas 3 ribu penari, tujuh legenda olahraga nasional, 32 gubernur, dan dipimpin pribadi oleh Presiden Joko Widodo.
Katanya ada anggaran senilai Rp 2 triliun untuk menggelar PON tahun ini. Khusus untuk upacara pembukaan dan penutupan PON XIX/2016 Jawa Barat menghabiskan dana Rp 90 miliar. Wajar kalau pesta pembukaan dan penutupan nanti ialah pesta nan mewah. Dari nominal itu bolehlah dibilang kalau Jabar serius membangun prestasi dan gengsi olahraga mereka.
Jabar memang antusias dalam menggelar PON. Wajar dikarenakan telah 55 tahun lampau terakhir kalinya Jabar menjadi tuan rumah. Dalam PON edisi itu pula Jabar berhasil jadi juara umum.
Sejak itu, Jabar tak pernah lagi jadi tuan rumah. Juara umum juga sulit dicapai meski mereka selalu jadi pesaing berat bagi DKI Jakarta dan Jawa Timur.
Agar gaungnya dirasakan oleh seluruh Jabar, dengan anggaran Rp 2 triliun itu PON XIX pun digelar menyebar pada 60 venue yang tersebar pada 16 kabupaten dan kota. Jabar Kedengarannya memang keren. Dalam pelaksanaan PON boleh dibilang, Jabar bikin terobosan. Baru jabar yang menggelar PON hingga 16 kabupaten dan kota. Biasanya hanya kurang dari sepuluh kabupaten dan kota yang terlibat menjadi tuan rumah PON. Seperti muncul pesan kalau PON XIX jadi ajang untuk memasyarakatkan olahraga, bukan?
Dibantu media umum yang dengan cepat merespons apapun yang tengah terjadi, PON Jabar semestinya jadi pionir PON paling wah dan paling kekinian. Semestinya jarak antar venue sudah bukan lagi duduk perkara buat informasi pada PON Jabar ini, bukan?
Tapi fakta di lapangan menunjukkan kalau PON tak melulu mementaskan kemampuan atlet. Malah setiap hari ada saja pertikaian di dalam arena.
Tudingan tuan rumah yang diuntungkan (basket), tapi tuan rumah juga sesekali merasa dirugikan hingga ada drama ketua umum Pengprov Wushu Jabar menantang wasit yang bertugas. Dalam PON Jabar juga muncul tawuran antarsuporter dan antaratlet, juga intimidasi terhadap wartawan.
Soal ini, dengan enteng, Ketua Panitia Besar (PB) PON yang juga Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan, menilainya sebagai riak-riak kecil.
Baca Juga: PB PON Sebut Penyelenggaraan Tetap Positif
Memang kita tak bisa mengabaikan catatan-catatan sip yang dibuat para atlet-atlet muda yang bersinar di sana. Di antaranya Emilia Nova dari cabang olahraga atletik yang mencetak beberapa rekor dan Nurul Fajar dari cabang olahraga renang.
Ricuh PON memang sudah bisa diprediksi sebelum benar-benar dimulai. Selain duduk perkara bajak-membajak atlet dari kawasan lain, Jabar tak bisa menutupi kesulitan-kesulitan yang terjadi di lapangan dengan niat baiknya sendiri.
Oke, pesan itu memang bakal terdengar cantik kalau luas kawasan Jabar setara DKI Jakarta. Ya! Malah, sudah semestinya kalau DKI yang menggelar PON maka enam kota manajemen yang ada sebaiknya terlibat sebagai tuan rumah.
DKI malah akan repot kalau PON yang sekarang menyampaikan 44 cabang olahraga dengan 756 nomor pertandingan dan diikuti 9.533 atlet, 4.071 ofisial, 10.271 panitia pelaksana, dan 18.468 relawan itu dilaksanakan di satu kota administrasi. Di Jakarta Pusat saja misalnya yang mempunyai kompleks Gelora Bung Karno di Senayan. Bisa dibayangkan betapa betapa panjang antrian tiap-tiap cabang olahraga untuk menggelar 756 nomor pertandingan dan perlombaan itu.
Oh ya luas DKI cuma 661,52 km persegi. Nah, provinsi Jabar seluas 35.222,18 kilometer persegi alias 53,24 kali DKI Jakarta, membentang dari barat ke timur. Bisa dibayangkan untuk urusan penyebaran logistik peralatan dan perlengkapan perlombaan dan pertandingan Jabar kesusahan sendiri, bukan?
Jabar terbukti telah terlambat mendatangkan alat hitung otomatis untuk sepatu roda yang dihelat di Bandung. Juga dibuat ketar-ketir dalam mendatangkan peralatan untuk cabang olahraga atletik yang digelar di Bogor. Dua kota yang semestinya lebih gampang dijangkau ketimbang kabupaten-kabupaten lain.
Belum lagi kalau ternyata kabupaten atau kota itu tak punya tradisi membesarkan cabang olahraga yang dipertandingkan. Panitia lokal kemungkinan besar tak familiar untuk menggelar perlombaan dan pertandingannya.
Juga soal covering media. Bahkan, situs resmi PON sendiri tampak kesusahan menerima hasil dan komentar dari atlet-atlet yang naik podium, manajer cabang olahraga yang menjadi juara umum, juga foto-foto pertandingan yang mestinya jadi kenang-kenangan buat para atlet dan catatan prestasi buat Indonesia.
Celah itu membuat hal-hal lain berupa noda PON yang lebih mencuat. Misalnya, pemukulan pegawanegeri keamanan terhadap atlet polo air DKI yang hingga menjadi viral.
Staf mahir menpora yang gres yang juga mantan atlet nasional, Taufik Hidayat, sudah mengingatkan semoga PON pada edisi selanjutnya fokus mempertandingkan cabang olahraga Olimpiade. Dia juga sepakat dengan anjuran pembatasan usia bagi peserta.
Selain mempermudah kerja tuan rumah, Menpora dan Taufik tengah menagih prestasi dari perhelatan PON yangs udah rutin digelar setiap empat tahun.
Baca Juga: Taufik Hidayat Kritik PON 2016 Sekaligus Berikan Solusi
Sejatinya, bukan cuma di Jabar ini PON sudah menyusahkan tuan rumah. Permasalahan-permasalahan yang muncul pada PON Jabar ini seolah letusan gunung api dengan proses vulkanik yang sudah terjadi dari PON-PON sebelumnya.
Coba tengok stadion-stadion di Samarinda dna Balikpapan serta Riau sebagai tuan rumah PON 2008 dan 2012. Masih baguskah? Tidak, alasannya dua kawasan itu justru kesulitan membiayai perawatan stadion-stadion yang dibangun menjelang jadi tuan rumah. Ada efek ekonomi kah kepada provinsi-provinsi yang pernah jadi tuan rumah PON? Tidak ada riset khusus wacana hal itu. Apakah IT kawasan itu makin berkembang setelah menjadi tuan rumah PON? Tidak ada tanggapan jelas.
Bahkan sudah semenjak tahun 1970-an, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, menyadari PON akan menyusahkan DKI sebagai tuan rumah kalau penerima terlalu banyak. Selain itu, Ali juga memprediksi kalau PON berpotensi menjadi sebuah pesta wah yang tak akan berimbas kepada prestasi olahraga kalau PON mengakomodasi cabang-cabang olahraga di luar Asian Games dan Olimpiade.
Maka, Ali pun meminta semoga PON bukan cuma pesta yang asal ramai secara kuantitas tapi haruslah menjadi gelaran yang berkualitas.
"Saya mau atlet-atlet kita (DKI Jakarta) mengejar prestasi atlet-atlet yang di luar negeri. Langkah pertama mengejar juara-juara Asian Games. Menghadapi PON IX aku menjabat sebagai Ketua Umum PB PON IX aku mengusulkan semoga hanya nomor-nomor yang dipertandingkan dalam Asian Games dan Olimpiade."
Begitulah anjuran Ali Sadikin yang tercatat dalam biografinya. Namun, dalam pelaksanaannya anjuran itu dimentahkan oleh pengurus induk cabang organisasi. mereka merajuk semoga cabang-cabang olahraga di luar Asian Games dan Olimpiade tetap dipertadningkan di PON dengan alasan yang berbeda-beda, Seperti de javu, situasi yang sama juga terjadi ketika ini, bukan?
Ali berkompromi. Namun beliau minta semoga total kontingen penerima tak lebih dari 3 ribu orang. Ya, cuma 3.000 peserta.
Tapi kini dalam perkembangannya, menyerupai disebut di awal tulisan, multievent ini diikuti 9 ribuan penerima alias tiga kali lipatnya.
Lantas apakah ada prestasi internasional yang sudah didapatkan Indonesia dari penyelenggaraan rutin PON yang rata-rata melombakan lebih dari 700-an nomor olahraga itu?
Jawabannya: alih-alih bisa masuk 10 besar Asian Games, jadi juara umum SEA Games saja Indonesia harus jadi tuan rumah lebih dulu alasannya emas bisa didulang dengan menghadirkan banyak cabang olahraga ajaib, cabang olahraga yang tiba-tiba ada kalau kita jadi tuan rumah.
Kalau tak ada perubahan juga, jangan heran kalau masalah-masalah itu akan dipentaskan lagi pada PON XX/2020 di Papua. Di sisi lain prestasi internasional masih akan sulit diciptakan.
0 Response to "Menagih Prestasi Internasional dari PON yang Wah (dan Banyak Masalah)"
Post a Comment