Letkol Slamet Riyadi beserta pasukan republik butuh waktu berbulan-bulan untuk mencapai Kota Ambon pada pertengahan 1950 itu. Bukan hanya medan berupa hutan bakau dan hamparan rawa saja yang menghadang, juga kemungkinan serangan mendadak dari musuh mampu datang setiap saat.
Kala itu, Slamet Riyadi merupakan salah satu pemimpin pasukan yang ditugaskan untuk membasmi pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) di tempat timur Indonesia. Usianya masih sangat muda, 23 tahun, namun cowok asal Solo ini sudah menempati posisi penting dalam misi berjulukan Operasi Senopati itu.
Setelah bersusah-payah menembus liarnya alam dan berkali-kali lolos dari rentetan tembakan lawan, pasukan republik kesudahannya berhasil mendekati Benteng Victoria di Kota Ambon pada 4 November 1950. Namun, misi ini rupanya menjadi pengabdian terakhir Slamet Riyadi. Ia tertembak dan mengembuskan nafas penghabisan pada malam harinya.
Nama Slamet Agar Selamat
Slamet Riyadi lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 26 Juli 1927 dengan nama Soekamto. Ayahnya, Raden Ngabehi Prawiropralebdo, ialah seorang abdi dalem sekaligus perwira di Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sementara sang ibunda, Soetati, membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan berjualan buah.
Soekamto kecil pernah terjatuh dari gendongan ibunya ketika masih berusia 1 tahun. Sejak itu, ia sering sakit-sakitan. Tubuh kecilnya kurus kering, dan fisiknya pun sangat lemah sehingga mudah diserang aneka macam penyakit (Mengenang Ignatius Slamet Riyadi, Brigadir Jenderal Anumerta, 1996:9).
Keluarga Soekamto yang tinggal tidak jauh dari lingkungan Kraton Solo menganut pedoman Kejawen. Maka, ditempuhlah ikhtiar yang sesuai tradisi Jawa terkait kondisi Soekamto, yakni dengan cara “menjualnya” kepada salah satu kerabat, yakni pamannya yang berjulukan Warnenhardjo.
Sebagai syarat, nama Soekamto harus diganti semoga terhindar dari marabahaya. Nama yang dipilih ialah Slamet demi harapan untuk keselamatan hidupnya. Semenjak itu, Soekamto resmi menyandang nama baru: Slamet.
Dalam ritual yang dihadiri oleh para tetua kampung, tokoh budpekerti dan masyarakat, juga warga sekitar tersebut, Warnenhardjo berucap:
“… maka, kami minta serta memohon doa restu dari semua hadirin semoga Slamet mampu selalu kalis ing sambekala, terhindar dari segala macam bahaya, tumbuh dewasa, dan selalu berbakti kepada orangtua, masyarakat, bangsa, serta negaranya.” (Julius Pour, Ignatius Slamet Rijadi: Dari Mengusir Kempeitai hingga Menumpas RMS, 2008:16).
Secara adat, Soekamto alias Slamet sudah menjadi anak dari Warnenhardjo. Meskipun begitu, ia tetap tinggal bersama ayah dan ibunya. Nantinya, ketika Slamet beranjak remaja, ia kembali "dibeli" oleh ayahnya menyerupai tradisi yang berlaku.
Berjuang Sejak Zaman Jepang
Nama pemanis Riyadi diperoleh Slamet ketika ia duduk di kursi sekolah menengah milik Mangkunegaran di Solo. Nama tersebut diberikan alasannya di sekolah itu cukup banyak siswa yang berjulukan Slamet di sekolah (Mengenang Ignatius Slamet Riyadi, Brigadir Jenderal Anumerta, 1996:11).
Slamet Riyadi lulus dari sekolah menengah bertepatan dengan kalahnya Belanda dari Jepang yang kemudian mengambil-alih wilayah Indonesia pada 1942. Slamet yang ketika itu gres berusia 15 tahun memutuskan merantau ke Jakarta untuk meneruskan pendidikan di perguruan maritim milik pemerintahan militer Jepang.
Hingga suatu malam di bersahabat Stasiun Gambir, Slamet Riyadi bersua dengan para pejuang yang bergerak dari secara sembunyi-sembunyi dengan harapan mampu mengusir Jepang suatu ketika nanti. Nah, ketika Jepang kesudahannya kalah oleh Sekutu dalam Perang Dunia II, Slamet Riyadi mengajak rekan-rekannya sesama pelaut untuk turut mengangkat senjata.
Salah satu gebrakan Slamet Riyadi dan rekan-rekannya pada masa ini adalah berhasil membawa kabur kapal milik Jepang, serta menggalang kekuatan dari para prajurit Indonesia yang sebelumnya tergabung dalam kesatuan militer bentukan Dai Nippon (National Geographic Indonesia, 23 September 2013).
Slamet Riyadi kemudian kembali ke Solo untuk membantu perjuangan rakyat di sana hingga kesudahannya Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Setelah itu, ia sepenuhnya membaktikan diri untuk mempertahankan kemerdekaan RI alasannya Belanda yang ingin berkuasa lagi telah datang kembali.
Bergabung dengan angkatan perang RI, Slamet Riyadi pribadi terlibat sentral dalam aneka macam agresi perjuangan melawan Belanda, termasuk Agresi Militer Belanda I dan II yang masing-masing terjadi pada 1947 dan 1949.
Slamet Riyadi memimpin Serangan Umum Kota Solo selama 4 hari dari tanggal 7 hingga 11 Agustus 1949. Serbuan frontal ini menjadikan 7 tentara Belanda tewas dan 3 orang lainnya menjadi tawanan (Sewan Susanto, Perjuangan Tentara Pelajar dalam Kemerdekaan Indonesia, 1985:86).
Keberhasilan ini membuat Slamet Riyadi semakin dilibatkan dalam misi-misi berikutnya yang tak kalah penting. Selain itu, usai Serangan Umum Kota Solo yang sukses besar tersebut, Slamet Riyadi dibaptis di Gereja Santo Antonius Purbayan Solo. Namanya kemudian menjadi Ignatius Slamet Riyadi.
Gugurnya Prajurit Pemberani
Slamet Riyadi selalu terlibat dalam operasi-operasi militer penting angkatan bersenjata RI selanjutnya. Ia terlibat dalam usaha menghentikan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) juga gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat, lalu menghadapi pasukan Andi Aziz di Makassar, hingga dikirim ke Ambon kontra Republik Maluku Selatan (RMS).
Pada suatu kali ketika menjalankan tugas, Slamet Riyadi pernah menyatakan cita-citanya kepada sobat sekaligus rekan kerjanya, Kolonel A.E. Kawilarang.
“Kalau operasi ini selesai, saya ingin membentuk pasukan khusus yang setangguh pasukan baret hijau Belanda menyerupai yang kita hadapi ketika ini,” ucap Slamet Riyadi kala itu.
Keinginan itu tak kuasa diwujudkan. Namun, keinginan Slamet Riyadi ditunaikan A.E. Kawilarang dengan membentuk Kesatuan Komando (Kesko), lalu berturut-turut berganti nama Korp Komando Angkatan Darat (KKAD), Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha), hingga menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Slamet Riyadi meninggal dunia terlalu dini. Pada 4 November 1950, perutnya terkena berondongan peluru di depan gerbang Benteng Victoria di Kota Ambon. Usai tertembak, Slamet Riyadi pribadi diamankan untuk segera menerima pinjaman medis.
Meskipun perutnya terluka parah, ia terus memperlihatkan isyarat semoga disampaikan kepada pasukannya yang masih bertempur di Ambon. Di rumah sakit darurat di atas kapal di perairan Tulehu, Maluku Tengah, dokter dan tenaga medis lainnya berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa Slamet Riyadi.
Namun, Yang Mahakuasa berkehendak lain. Soekamto yang namanya sudah diganti menjadi Slamet dengan harapan selalu mendapat keselamatan ternyata tidak tertolong. Di hari yang sama, pukul 11 malam, Slamet Riyadi menghembuskan nafas terakhirnya.
Jasad sang perwira muda dimakamkan di Tulehu atas usul masyarakat setempat. Sedangkan sebagian tanah kuburnya dibawa ke Surakarta untuk disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bhakti, Solo.
0 Response to "Slamet Riyadi: Mati Muda dengan Gagah Berani"
Post a Comment